Dorong Pengakuan Kerajaan Enrekang, Yayasan Andi Tenri Toalala Lakukan Ini

waktu baca 4 menit
Selasa, 21 Okt 2025 06:20 0 64 Bahri Layya

Metromilenial online.com, ENREKANG – Rapat Kerja (Raker) Yayasan Andi Tenri Toalala Arung Enrekang VIII yang digelar di Rumah Jabatan Bupati Enrekang pada Ahad, 19 Oktober 2025, berlangsung sukses dan lancar. Selain merumuskan program kerja, kegiatan ini juga dirangkaikan dengan diskusi kebudayaan yang menghadirkan dua narasumber, yakni Ketua Umum DPP Himpunan Keluarga Massenrempulu (HIKMA) Andi Rukman N. Karumpa dan Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Enrekang, Erik, S.IP., M.M.

Ketua Yayasan Andi Tenri Toalala Arung Enrekang VIII, Dr. Ir. H. Muhammad Rais Razak, M.Si, dalam sambutannya mengatakan bahwa hingga kini Lembaga yang merepresentasi Kerajaan Enrekang belum mendapat pengakuan dari pemerintah, meskipun memiliki garis keturunan dan lontara (naskah sejarah). Hal ini, menurutnya, menjadi pembeda antara Enrekang dan daerah lain yang sudah memiliki lembaga adat resmi.

“Inilah tantangan kita ke depan. Seperti di Bone dan Gowa yang memiliki lembaga adat. Padahal, Enrekang tidak kalah kaya akan sejarah dan budaya. Bahkan, Enrekang tidak pernah menjadi kerajaan lili, apalagi menjadi negeri jajahan” ungkapnya.

Rais menambahkan, pada abad ke-16, Kerajaan Enrekang sempat menjadi perhatian Kerajaan Bone III karena dikenal sebagai kerajaan makmur di atas gunung dan dipimpin oleh seorang Raja wanita (To Puang/Arung Enrekang) Takkebuku sebagai Raja Enrekang pertama. Namun, beberapa upaya penaklukan tidak berhasil, hingga akhirnya menyebut Enrekang sebagai “Tanah Rigalla Tana Ri Abbusungi” yang diartikan sebagai tanah subur, tanah yang dikeramatkan dan di hormati yang kemudian justru terjalin hubungan persahabatan antara Bone dan Enrekang. Sebagai bentuk persaudaraan kerajaan, Kerajaan Bone mempersilahkan kepada Kerajaan Enrekang untuk menggunkan jabatan “Petta Punggawa” dalam struktur pemerintahannya seperti di Kerajaan Bone. Hal ini menegaskan Enrekang dan Bone adalah sama posisinya sebagai Kerajaan berdaulat.

Ia menegaskan, yayasan ini dibentuk sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian adat dan budaya Enrekang. Sehingga sangat disayangkan kalau sejarah dan sejarah kerajaan Enrekang ini hilang.

“Kami hanya merintis. Yayasan ini hadir untuk membantu pemerintah menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya sebagai aset daerah,” tuturnya.

Sementara itu, Plh. Kadisdikbud Enrekang, Erik, mengatakan sepaham dengan kegelisahan yang diungkapan ketua Yayasan Andi Tenri Toalala Arung Enrekang VIII, Dr. Ir. H. Muhammad Rais Razak, M.S bahkan dirinya menceritakan saat sekolah di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Bandung.

“Saat kuliah di STPDN, setiap ruang kelas diberi nama kerajaan-kerajaan di Indonesia. Saya keliling semua kelas, tapi tidak menemukan satu pun yang bernama Enrekang. Padahal ada nama Bone, Wajo, Gowa, dan lainnya,” jelasnya.

Hal tersebut membuatnya bertekad agar suatu saat nama Enrekang bisa diabadikan di institusi tersebut. Erik menilai, pengakuan terhadap adat dan situs budaya Enrekang menjadi pekerjaan bersama.

“Enrekang memiliki sekitar 30 situs budaya, tetapi belum ada satu pun yang diakui secara kelembagaan. Mudah-mudahan dengan kerja keras kita bersama, hal ini bisa terwujud,” harapnya.

Erik juga menyoroti menurunnya minat generasi muda terhadap kebudayaan daerah.

“Kehadiran anak muda dalam kegiatan ini sangat sedikit, lebih banyak orang tua. dan saya melakukan survei kecil, jika kondisi ini terus berlanjut tanpa ada langkah nyata, dikhawatirkan 15–20 tahun ke depan budaya Enrekang bisa terlupakan,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP HIKMA, Andi Rukman N. Karumpa, yang hadir secara daring, menyampaikan materi bertema “Urgensi Pelestarian Budaya Enrekang Tana Rigalla Tana Ri Abbusungi untuk Generasi Mendatang.”

Ia juga menuturkan pengalamannya saat menghadiri Majelis Kerajaan Adat Nusantara di Solo, di mana semua kerajaan dan kesultanan memiliki name tag resmi di meja masing-masing. Namun, nama Kerajaan Enrekang tidak tercantum.

“Saat itu kami bersama Ketua Yayasan Dr. Muhammad Rais Razak datang, tetapi nama Kerajaan Enrekang tidak ada dalam daftar, bahkan sempat ditolak di pintu masuk karena belum terdaftar secara resmi,” kisahnya. Namun dengan perjuangan bersama 4 utusan lain (Puang Jendral Chaedir Patonnory, Andi Suleha, Andi Suwar dan Andi Zaenal) dari bija Toalala yang dimandat lewat Ikatan Kerukunan Keluarga Toalala (IKKT).

“Akhirnya diijinkan bergabung dan bahkan saya diamanahkan dan dipilih sebagai Bendahara Umum MAKN (Majelis Adat Kerajaan Nusantara) Pusat,” bebernya.

Andi Rukman menjelaskan, pengakuan kerajaan adat harus memenuhi sejumlah syarat, seperti adanya raja atau sultan yang dinobatkan secara sah, memiliki istana atau rumah adat, pusaka, bendera, situs sejarah, serta masyarakat adat yang diakui.

“Karena itu, saya sudah berbicara dengan Bupati agar ke depan kita bisa membangun salassa atau rumah adat Enrekang. Saya siap membantu melalui jaringan yang saya miliki,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pelestarian budaya bukan sekadar menjaga masa lalu, tetapi juga menulis masa depan.

“Pelestarian budaya Enrekang bukan pilihan, melainkan kewajiban. Di sanalah kehormatan Tana Rigalla Tana Ri Abbusungi akan tetap terjaga,” tegasnya.(*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *